andi

andi
variasi

Jumat, 11 April 2014

LATAR BELAKANG DAN IMPLEMENTASI TIGA KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Dalam sejarah ketata negaraan Indonesia ada empat macam Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku, yaitu: (1) UUD 1945, yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 berlaku hingga 27 Desember 1949; (2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat; (3) UUD Sementara 1950; yang berlaku antara 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959; (4) UUD 1945, yang berlaku lagi sejak dikeluarkan Dektrit Presiden 5 Juli 1959. Hal inilah yang menarik minat penulis untuk mengetahui Latar Belakang dan Implementasi dari konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia itu.
Semoga dengan mengetahui dan memahami Latar Belakang dan Implementasi dari ketiga jenis Konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia itu, pembaca dapat lebih bijak dalam memaknai dan melaksanakan Konstitusi Indonesia yang dalam hal ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
B.       Rumusan Masalah
1.      Apa Latar Belakang dan Implementasi Undang-Undang Dasar 1945?
2.      Apa Latar Belakang dan Implementasi Konstitusi RIS 1949?
3.      Apa Latar Belakang dan Implementasi Undang-Undang Dasar Sementara 1950?
4.      Apa Latar Belakang dan Implementasi Undang-Undang Dasar 1945 Pasca Dekrit Presiden 1950?
C.      Tujuan
1.      Untuk Mengetahui Latar Belakang dan Implementasi Undang-Undang Dasar 1945.
2.      Untuk Mengetahui Latar Belakang dan Implementasi Konstitusi RIS 1949.
3.      Untuk Mengetahui Latar Belakang dan Implementasi Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
4.      Untuk Mengetahui Latar Belakang dan Implementasi Undang-Undang Dasar 1945 Pasca Dekrit Presiden 1950.






BAB II

PEMBAHASAN
A.      Pendahuluan
Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu Negara. Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut Undang-Undang Dasar, dan dapat pula tidak tertulis. Tidak semua negara memiliki konstitusi tertulis atau Undang-Undang Dasar. Kerajaan Inggris biasa disebut sebagai Negara konstitusional, tetapi tidak memiliki satu naskah Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis, disamping karena adanya Negara yang dikenal sebagai Negara konstitusional, tetapi tidak memiliki konstitusi tertulis, nilai dan norma yang hidup dalam praktik penyelenggaraan Negara juga diakui sebagai hukum dasar, dan tercakup pula dalam pengertian konstitusi dalam arti yang luas. Oleh karena itu, Undang-Undang daar sebagai konstitusi tertulis beserta nilai-nilai dan norma hukum dasar tidak tertulis yang hidup sebagai konvensi ketatanegaraan dalam praktik penyelenggaraan Negara sehari-hari, termasuk kedalam pengertian konstitusi atau hukum dasar (droit constitusionnel) suatu Negara.
Dalam penyusunan suatu kontitusi tertulis, nilai-nilai dan normadasar yang hidup dalam masyarakat dan dalam praktik penyelenggaraan Negara turut mempengaruhi perumusan suatu norma ke dalam naskah Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu, suasana kebatinan (geistichenhenterground) yang menjadi latar belakang filosifis, sosiologis, politis, dan historis perumusan juridis suatu ketentuan Undang-Undang Dasar perlu dipahami dengan seksama, untuk dapat mengeti dengan sebaik-baiknya ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar tidak dapat dipahami hanya melalui teksnya saja. Untuk sungguh-sungguh mengerti, kita harus mengerti konteks filosifis, sosio-historis, sosio-politis, sosio-juridis, dan bahakan sosio-ekonomis yang mempengaruhi perumusannya.
Disamping itu, setiap kurun waktu dalam sejarah memberikan pula kondisi-kondisi kehidupan yang membentuk dan mempengaruhi kerangka pemikiran (frame of reference) dan medan pengalaman (field of experience) dengan muatan kepentingan yang berbeda, sehingga proses pemahaman terdapat suatu ketentuan Undang-Undang Dasar dapat terus berkembang dalam praktek di kemudian hari. Oleh karena itu, penafsiran terhadap Undang-Undang Dasar pada masa lalu, masa kini, dan pada masa yang akan datang, memerlukan rujukanstandar yang dapat dipertanggungjawabkan dengan ebaik-baiknya,sehingga Undang-Undang Dasar tidak menjadi alat kekuasaan yang ditentukan secara sepihak oleh pihak manapun juga. Untuk itulah, menyertai penyusunan dan perumusan naskah Undang-Undang Dasar diperlukan pula adanya pokok-pokok pemikiran konseptual yang mendasari setiap perumusan pasal-pasal Undang-Undang Dasar serta keterkaitannya secara langsung atau tidak langsung terhadap semangat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan pembukaan Undang-Undang Dasar.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana terkhir diubah pada tahun 1999, 2000, 2001, sampai tahun 2002 merupakan satu kesatuan rangkaian perumusan hukum dasar Indonesia di masa depan. Isinya mencakup dasar-dasar normative yang berfungsi sebagai sarana pengendali (tool of social and political control) terhadap penyimpangan dan penyelewengan dalam dinamika perkembangan zaman dan sekaligus sarana pembaruan masyarakat (tool of social and political reform) serta sarana perekayasaan (tool of social and political engineering) kea rah cita-cita kolektif bangsa.belajar dari kekurangan sistem demokrasi politik di berbagai Negara di dunia yang menjadikan Undang-undang Dasar hanya sebagai konstitusi politik, disamping juga berisi dasar-dasar pikiran mengenai demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar ini dapat disebut sebagai konstitusi politik, konstitusi ekonomi, dan sekaligus konstitusi sosial yang mencerminkan cita-cita kolektif bangsa, baik dibidang politik dan ekonomi maupun sosial-budaya, dangantetap memelihara tingkat abstraksi perumusannya sebagai hukum dasar (rechtsidee).
Sebagai hukum dasar, perumusan isinya disusun secara sistematis mulai dari prinsip-prinsip yang bersifat umum dan mendasar, dilanjutkan dengan perumusan prinsip-prinsip kekuasaan dalam setiap cabangnya yang disusun secara beruurutan. Pasal-pasal dan ayatnya dirumuskan dalam tingkat abstraksi yang sesuai dengan hakikatnya sebagai hukum dasar, dengan kesadaran bahwa pengaturan yang bersifat rinci akan ditemukan lebih lanjut dalam Undang-Undang. Makin elastis suatu aturan, makin terbuka kemungkinan untuk menampung dinamika perkembangan zaman, sehingga Undang-Undang Dasar tidak lekas ketinggalan zaman (verounderd). Namun demikian, meskipun perumusan Undang-Undang Dasar ini bersifat garis besar, haruslah didasari jangan sampai ketentuan yang diaturnya bermakna ganda atau dapat ditafsirkan secara sewenang-wenang oleh pihak yang berkuasa.
Oleh karena itu, yang terpenting adalah semangat dan kemauan politik (political will) para penyelenggara Negara. Meskipun dirumuskan dengan jelas bahwa Undang-Undang Dasar menganut asas kedaulatan rakyat atau demokrasi, jika para penyelenggara Negara tidak berjiwa demokrasi dan tidak mempunyai tekad dan komitmen untuk mewujudkan demokrasi itu dalam kenyataan atau hanya menjadikan demokrasi hanya sebagai retorika semata, maka pasal yang jelas menentukan adanya demokrasi itu tidak akan terwujud dalam praktik. Sebaliknya, meskipun perumusan Undang-Undang Dasar tidak sempurna tetapi semangat para penyelenggara Negara bersih dan tulus dalam menjalankan konstitusi, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, maka kekurangan dalam perumusan pasal Undang-Undang Dasar tidak akan merintangi jalannya penyelenggarann berdasarkan kelima sila Pancaila yang dirumuskan dalam pembentukan Undang-Undan Dasar.
B.       Latar Belakang dan Implementasi Undang-Undang Dasar 1945
UUD 1945 pertama kali disahkan berlaku sebagai konstitusi Negara Indonesia dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu sehari setelah kemerdekaan Negara Republik Indonesia diproklamirkan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945.  Naskah UUD 1945 ini pertama kali dipersiapkan oleh satu badan bentukan pemerintah bala tentara Jepang yang diberi nama Dokuritsu Zyunbi Tjoosakai yang dalam bahasa Indonesia disebut “Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia” (BPUPKI). Pimpinan dan anggota badan ini dilantik oleh pemerintah bala tentara Jepang pada tanggal 28 Mei 1945 dalam rangka memenuhi janji pemerintah jepang di depan parlemen (Diet) untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Namun setelah pembentukannya, badan ini tidak hanya melakukan usaha-usaha persiapan kemerdekaan sesuai denagan tujuan pembentukannya, tetapi malah mempersiapkan naskah Undang-Undang Dasar untuk mendirikan Negara Indonesia merdeka.
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ini beranggotakan 62 orang, diketuai oleh K.R.T. Radjiman Widyodiningrat, serta Itibangase Yasio dan Raden Panji Suroso, masing-masing sebagai wakil ketua.  Persidangan badan ini dibagi dlam dua periode, yaitu masa sidang pertama dari tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juli 1945, dan masa sidang kedua dari tanggal 10 Juli sampai dengan 17 juli 1945. Dalam kedua masa sidang itu, focus pembicaraan dalam sidang-sidang BPUPKI langsung tertuju pada upaya mempersiapkan pembentukan sebuah Negara merdeka. Hal ini terlihat pada maa persidangan pertama, pembicaraan tertuju pada soal philosofische grondslag, dasar falsafah yang harus diperiapan dalam rangka Negara Indonesia merdeka. Pembahasan mengenai hal-hal teknis tentang bentuk Negara dan pemerintahan baru dilakukan dalam masa persidangan kedua dari ranggal 10 Juli sampai dengan 17 Agustus 1945.
Dalam masa persidangan kedua itulah dibentuk panitia hukum dasar  dengan anggota 19 orang, diketuai oleh Ir. Soekarno. Panitia ini membentuk panitia kecil yang diketuai oleh Prof. Dr. Soepomo, dengan anggota yang terdiri atas Wongsonegoro, R. Soekardjo. A.A. Marimis, Panji Singgih, Haji Agus Salim, dan Sukiman. Pada tanggal 13 Juli 1945, panitia kecil berhasil menyalesaikan tugasnya, dan BPUPKI menyetujui hasil kerjanya sebagai rancangan Undang-Undang Dasar pada tanggal 16 Agustus 1945. Setelah BPUPKI berhasil menyelesaikan tugasnya, pemerintah balatentara Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang beranggotakan 21 orang, termasuk Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta, masing-masing sebagai Ketua dan Wakil Ketua. Panitia ini sedianya akan dilantik resmi pada tanggal 18 Agustus 1945, dan direncanakan setelah pelantikan langsung akan diadakan sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia di Gedung Komonfu Pejambon No. 2, dengan susunan acara (I) Menetapkan Undang-Undang Dasar, (II) Memilih Presiden dan Wakil Presiden , (III) dan alin-lain.
Setelah mendengarkan laporan hasil kerja BPUPKI yang telah menyelesaikan naskah rancangan Undang-Undang Dasar, pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, beberapa anggota masih ingin mengajukan usul-usul perbaikan di sana-sini terhadap rancangan yang telah dihasilkan, tetapi akhirnya dengan aklamasi rancangan UUD itu secara resmi disahkan menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Di tengah pembahasan materi Undang-Undang Dasar ini, setelah istirahat pertama, dan sidang dibuka lagi pada pukul 15.15-16.12 WIB, Soekarno sebagai Ketua berkata:
“Menurut acara, tuan-tuan sekalian, maka kita akan membicarakan aturan-aturan peralihan, tetapi oleh karena pers menunggu suatu hal yaitu ketentuan siapa yang dipilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden Negara Indonesia, maka lebih dahulu daripada aturan peralihan akan saya bicarakan Pasal 3”.”… sekarang untuk memenuhi permintaan pers, lebih dahulu saya hendak masuk ke dalam acara pemilihan Kepala Negara dan Wakilnya, tetapi lebih dahulu saya minta disahkan pasal III dalam aturan peralihan, yang tuan-tuan sekalian memegangnya: untuk pertama kali Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Penitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yaitu kata ini. Bagaimana tuan-tuan setuju? Kalau setuju, maka sekarang saya masuk acara pemilihan Presiden. Saya minta Zimukyoku membagikan stembiljet”.
Namun, belum sempat pembagian stembiljet itu dilakukan, atas usul yang disampaikan secara terbuka oleh Oto Iskandardinata supaya Bung Karno dan Bung Hatta disepakati menjadi Presiden dan Wakil Presiden, langsung mendapat tanggapan positif dari seluruh hadirin yang sambil meneriakkan yel-yel “Hidup Bung Karno”, “Hidup Bunga Hatta!!” dan dilanjutkan menyanyikan lagu “Indonesia Raya” secara bersama-sama, maka resmilah Soekarno dan Mohammad Hatta menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama, dimulai sejak tanggal 18 Agustus 1945 itu. setelah itu, barulah pembahasan dilanjutkan mengenai materi Undang-Undang dasar sampai selesai dan kemudian disahkan resmi menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Namun demikian, setelah resmi disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, UUD 1945 ini tidak langsung dijadikan referensi dalam setiap  pengambilan keputusan kenegaraan dan pemerintahan. UUD 1945 pada pokoknya benar-benar dijadikan alat saja untuk sesegera mungkin memebentuk Negara merdeka yang bernama Republik Indonesia. UUD 1945 memang dimaksudkan sebagai UUD sementara yang menurut istilah bungkarno sendiri merupakan revolutie-grondwet atau Undang-Undang Dasar Kilat, yang memang harus diganti dengan yang baru apabila Negara merdeka telah berdiri dan keadaan sudah memungkinkan. Hal ini dicantumkan pula dengan jelas dalam ketentuan asli aturan tambahan pasal II UUD 1945 yang berbunyi: “Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis ini bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar”. Adanya ketentuan Pasal III Aturan Tambahan ini juga menegaskan bahwa UUD Negara Republik Indonesia yang bersifat tetap barulah akan ada setelah MPR-RI menetapkannya secara resmi. Akan tetapi, sampai UUD 1945 diubah pertama kali pada tahun 1999, MPR yang ada bersarkan UUD 1945 belum pernah sekalipun menetapkan UUD 1945 sebagai UUD Negara Republik Indonesia. Oleh Karena itu, Prof. Dr. Harun Alrasyid, S.H., sebagai seorang guru besar hukum tata Negara yang dikenal sangat kritis, terus-menerus menyampaikan pendapatnya bahwa UUD 1945 harus lebih dahulu ditetapkan menurut ketentuan pasal 3 UUD 1945, barulah kemudian diubah sesuai ketentuan pasal 37.
Di dunia akademis, pandangan seperti yang diajukan oleh Prof. Dr. Harun Alrasyid, bukanlah barang baru. Akan tetapi, yang penting disadari adalah bahwa keberadaan UUD 1945 itu sesungguhnya memang bersifat sementara dan dimaksudkan sebagai UUD untuk sementara waktu saja. Semangat demikian mewarani sikap dan pandanga the founding fathers sendiri mengenai naskah UUD 1945. Karena semangat demikian itu, ditambah pula oleh kenyataan sebagai Negara yang baru merdeka, masih harus melakukan banyak hal yang tidak sepenuhnya dapat diikat oleh aturan-aturan Konstitusional yang ketat, maka UUD 1945 memang tidak selau dijadikan referensi. Misalnya, menurut ketentuan UUD 1945, sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem pemerintahan presidensiil. Atas dasar itu, pada tanggal 2 September 1945 dibentuklah susunan kabinet pertama dibawah tanggung jawab Presiden Soekarno. Akan tetapi, baru dua bulan setelah itu, yaitu tepatnya pada tanggal 14 November 1945, Pemerintah mengeluarkan Maklumat yang berisi perubahan sistem kabinet dari sistem presidensiil (pen: quasi presidensil) ke sistem parlementer.
Sehubungan dengan itu, pemerintah menetapkan kebijakan untuk membentuk kabinet parlementer pertama dibawah Perdana Mentri Syahrir. Padahal, seperti dikemukakan di atas, UUD 1945 menentukan sistem pemerintahan presidensiil, tidak mengatur adanya sistem pemerintahan kabinet perlementer sama sekali. Dengan perkataan lain, periode 18 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949, meskipun UUD 1945 secara formal berlaku sebagai konstitusi resmi, tetapi nilainya hanya bersifat nominal, yaitu baru di atas kertas saja. Keadaan demikian terus berlangsung sampai tahun 1949 ketika dibentuknya Republik Indonesia Serikat.
C.      Latar Belakang dan Impementasi Konstitusi RIS 1949
Setelah Perang Dunia Kedua berakhir dengan kemenangan di pihak Tentara Sekutu dan kekalahan di pihak Jepang, maka kepergian Pemerintah Balatentara Jepang dari tanah air Indonesia dimanfaatkan oleh Pemerintah Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Namun, usaha Pemerintah Belanda untuk kembali menanamkan pengaruhnya tidak mudah karna mendapat perlawanan yang sangat sengit dari para pejunga kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah Belanda menerapkan politik adu domba dengan cara mendirikan dan mensponsori berdirinya beberapa Negara kecil di berbagai wilayah nusantara, seperti Negara Sumatra, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, dan sebagainya. Dengan kekuasaan Negara-negara yang terpecah-pecah itu diharapkan pengaruh kekuasaan Republik Indonesia di bawah kendali pemerintah hasil perjuangan kemerdekaan dapat dieliminir oleh Pemerintah Belanda.
Sejalan dengan hal itu, Tentara Belanda melakukan Agresi I pada tahun 1947 dan Agresi II tahun 1948 untuk maksud kembali menjajah Indonesia. Dalam keadaan terdesak, atas pengaruh Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada tanggal 23 Agustus 1949 sampai dengan tanggal 2 November 1949 diadakan Konferensi Meja Bundar (Round Table Conference) di Den Haag. Konferensi ini dihadiri oleh wakil-wakil dari Republik Indonesia dan Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO) serta wakil Nederland dan Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia.
Konverensi Meja Bundar tersebut berhasil menyepakati tiga hal, yaitu sebagai berikut.
1.      Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat
2.      Penyerahan kedaulatan kepada RIS yang berisi 3 hal, yaitu (a) piagam penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Pemerintah RIS; (b) status uni; (c) persetujuan perpindahan.
3.      Mendirikan uni antara Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda.
Naskah konstitusi Republik Indonesia Serikat disusun bersama oleh delegasi Republik Indonesia dan delegasi BFO ke Konferensi Meja Bundar itu. Dalam delegasi Republik Indonesia yang dipimpin oleh Mr. Mohammad Roem, terdapat Prof. Dr. Soepomo yang terlibat dalam mempersiapkan naskah Undang-Undang dasar tersebut. Rancangan UUD itu disepakati bersama oleh kedua belah pihak untuk diberlakukan sebagai Undang-Undang Dasar RIS. Naskah Undang-Undang Dasar yang kemudiandikenal dengan sebutan Konstitusi RIS itu disampaikan kepada Komite Nasional Pusat sebagai lembaga perwakilan rakyat di Republik Indonesia dan Kemudian resmi mendapat persetujuan Komite Nasional Pusat pada tanggal 14 Desember 1949. Selanjutnya, Konstitusi RIS dinyatakan berlaku mulai tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berdirinya negara Republik Indonesia Serikat berdasarkan Konstitusi RIS tahun 1949 itu, wilayah Republik Indonesia sendiri masih tetap ada di samping Negara federal Republik Indonesia Serikat. Karena, sesuai ketentuan Pasal 2 Konstitusi RIS, Republik Indonesia diakui sebagai salah satu Negara bagian dalam wilayah Republik Indonesia Serikat, yaitu mencakup wilayah yang disebut dalam Persetujuan Renville. Dalam wilayah federal, berlaku Konstitusi RIS 1949, tetapi dalam wilayah Republik Indonesia sebagai salah satu Negara bagian tetap berlaku UUD 1945. Dengan demikian, berlakunya UUD 1945 dalam sejarah awal ketatanegaraan Indonesia, baru berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa berlakunya Konstitusi RIS, yaitu tanggal 27 Agustus 1950,  ketika UUDS 1950 resmi diberlakukan.
Konstitusi RIS yang disusun dalam rangka Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun 1949 itu, pada pokoknya juga dimaksudkan sebagai UUD yang bersifat sementara. Disadari bahwa lembaga yang membuat dan menetapkan UUD itu tidaklah representatif. Oleh karena itu, dalam Pasal 186 Konstitusi RIS ini ditegaskan ketentuan bahwa Konstituante bersama-sam dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Dari ketentuan Pasal 186 ini, jelas sekali artinya bahwa Konstitusi RIS 1949 yang di tetapkan di Den Haag itu hanyalah bersifat sementara saja.
D.      Latar Belakang dan Implementasi Undang-Undang Dasar Sementara 1950
Bentuk Negara federal tampaknya memang mengandung banyak sekali nuansa politis, berkenaan dengan kepentingan penjajahan Belanda. Oleh karena itu, meskipun gagasan bentuk Negara federal mungkin saja memiliki relevansi sosiologis yang cukup kuat untuk diterapkan di Indonesia, tetapi karena terkait oleh kepentingan penjajahan Belanda, maka ide feodalisme menjadi tidak popular. Apalagi sebagai Negara yang baru terbentuk, Pemerintahan Indonesia memang membutuhkan tahap-tahap konsolidasi kekuasaan yang efektif sedemikian rupa, sehingga bentuk Negara kesatuan dinilai jauh lebih cocok untuk diterapkan daripada bentuk Negara federal.
Bentuk Negara federal RIS ini tidak bertahan lama. Dalam rangka konsolidasi kekuasaan itu, mula-mula tiga wlayah Negara bagian, yaitu Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatra Timur menggabungkan diri menjadi satu wilayah Republik Indonesia. Sejak itu wibawah Pemerintah Republik Indonesia Serikat menjadi berkurang, sehingga akhirnya dicapailah kata sepakat antara Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia untuk kembali bersatu mendirikan Negara Kesatun Republik Indonesia. Kesepakatan itu di tuangkan dalam satu naskah persetujuan bersama pada tanggal 19 Mei 1950, yang pada intinya menyepakati dibentuknya kembali NKRI sebagai kelanjutan dari Negara kesatuan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dalam rangka persiapan kearah itu, untuk keperluan menyiapkan satu naskah Undang-Undang Dasar, dibentuklah suatu panitia bersama yang akan menyusun rancangannya. Setelah selesai, rancangan naskah Undang-Undang Dasar itu kemudian disahkan oleh Badan Pekerja Nasional Pusat pada tanggal 12 Agustus 1950, dan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Agustus 1950. Selanjutnya, naskah UUD baru ini diberlakukan secara resmi mulai tanggal 17 Agustus 1950, yaitu dengan di tetapkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1950. UUDS 1950 ini bersifat mengganti, sehingga isinya tidak hanya mencerminkan perubahan terhadap Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949, tetapi menggantikan naskah Konstitusi RIS itu dengan naskah baru sama sekali dengan nama Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.
Seperti halnya Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950 ini juga bersifat sementara. Hal ini terlihat jelas dalam rumusan pasal 134 yang mengharuskan Konstituante bersama-sama dengan Pemerintah segera menyusun Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 itu. Akan tetapi, berbeda dari Konstitusi RIS yang tidak sempat Membentuk Konstituante sebagaimana diamanatkan didalamnya, amanat UUDS 1950 telah dilaksanakan sedemikian rupa, sehingga pemilihan umum berhasil di selenggarakan pada bulan Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante. Pemilihan Umum ini diadakan berdasarkan ketentuan UU No. 7 Tahun 1953. Undang-Undang ini berisi dua pasal. Pertama, berisi ketentuan perubahan Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950. Kedua, berisi ketentuan mengenai tanggal mulai berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 itu menggantikan Konstitusi RIS, yaitu tanggal 17 Agustus 1950. Atas dasar UU inilah diadakan Pemilu tahun 1955, yang menghasilkan terbentuknya Konstituante yang diresmikan di kota Bandung pada tanggal 10 November 1956.
Sayangnya, Majelis Konstituante ini tidak atau belum sampai berhasil menyelesaikan tugasnya untuk menyusun Undang-Undang Dasar baru ketika Presiden Soekarno berkesimpulan bahwa Konstituante telah gagal, dan atas dasar itu ia mengeluarkan Dekrit tanggal 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai UUD Negara Republik Indonesia selanjutnya. Menurut Adnan Buyung Nasution dalam disertasi yang dipertahankannya di negri Belanda, Konstituante ketika itu sedang reses, dank arena itu tidak dapat dikatakan gagal, sehingga dijadikan alasan oleh Presiden untuk mengeluarkan dekrit. Namun demikian, nyatanya sejarah ketatanegaraan Indonesia telah berlangsung sedemikian rupa, sehingga dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 telah menjadi kenyataan sejarah dan kenyataannya telah memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai UUD Negara Republik Indonesia sejak tanggal 5 Juli 1959 sampai dengan sekarang.
Memang kemudian muncul kontroversi yang luas berkenaan dengan status hukum berlakunya Dekrit Presiden yang di tuangkan dalam bentuk Keputusan Presiden itu sebagai tindakan hukum yang sah untuk memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945. Profesor Djoko Soetono memberikan pembenaran dengan mengaitkan dasar hukum Dekrit Presiden yang diberi baju hukum dalam bentuk Keputusan Presiden itu dengan prinsip staatsnoodrecht. Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, prinsip staatsnoodrecht pada pokoknya sama dengan pendapat yang dijadikan landasan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementra masa Orde Baru untuk menetapkan Ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966. Adanya istilah Orde Baru itu saja menggambarkan pendirian MPRS bahwa masa antara tahun 1959 sampai tahun 1965 adalah masa Orde Lama yang dinilai tidak mencerminkan pelaksanaan UUD1945 secara murni dan konsekuen. Oleh karena itu, MPRS mengeluarkan TAP No. XX/MPRS/1966 tersebutdengan asumsi bahwa perubahan drastic perlu dilakukan karena adanya prinsip yang sama, yaitu keadaan darurat (staatsnoodrecht).
Terlepas dari kontroversi itu, yang jelas, sejak Dekrit 5 Juli 1959 sampai sekarang, UUD 1945 terus berlaku dan diberlakukan sebagai hukum dasar. Sifatnya masih tetap sebagai UUD sementara. Akan tetapi, karna konsolidasi kekuasaan yang makin lama makin terpusat di masa Orde Baru, dan siklus kekuasaan mengalami stagnasi yang statis karena pucuk pimpinan pemerintahan tidak mengalami pergantian selama 32 tahun, akibatnya UUD 1945 mengalami proses sakralisasi yang irasional selama kurun masa Orde Baru itu. UUD 1945 itu tidak diizinkan bersentuhan denga ide perubahan sama sekali.padahal, UUD 1945 itu jelas merupakan UUD yang masih bersifat sementara dan belum pernah dipergunakan untuk diterapkan dengan sungguh-sungguh. Satu-satunya kesempatan untuk menerapkan UUD 1945 itu secara relative lebih murni dan konsekuen hanyalah di masa Orde Baru selama 32 tahun. Itupun berakibat terjadinya stagnasi atas dinamika kekuasaan. Siklus kekuasaan berhenti, menyebabkan Presiden Soeharto seakan terpenjara dalam kekuasaan yang dimilikinya, makin lama  makin mempribadi secara tidak rasional. Itulah akibat dari diterapkannya UUD 1945 secara murni dan konsekuen, apalagi jika UUD 1945 dilaksanakan tidak cukup murni dan tidak cukup konsekuen.
E.       Undang-Undang Dasar 1945 Pasca Dekrit Presiden 1950
Untuk melaksanakan roda pemerintahan Negara menurut Undang-Undang Dasar Sementara maka segera dibentuk alat-alat perlengkapannya.
Presiden Republik Indonesia Serikat yaitu Presiden Soekarno, menurut Piagam Persetujuan Pemerintah Negara Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah Negara Republik Indonesia Pasa 3 sub e, adala tetap sebagai Presiden Negara Kesatuan.
Sedangkan kabinet pertama dalam Negara Kesatuan ini ialah kabinet Natsir, yaitu kabinet yang ada pada waktu itu, tetapi kemudian diganti dengan kabinet Sukiman pada tanggal 6 September 1950.
Untuk melakukan tugas Dewan Perwakilan Rakyat maka sebelum dapat dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat yang dimaksud dalam Pasal 56, maka berdasar pada Pasal 77 untuk pertama kali debentuk “Dewan Perwakilan Rakyat Sementara” yang terdiri dari gabungan Dwan Perwakilan Rakyat Indonesia Serikat dan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat. Sedangkan Senat dihapuskan, ini sehubungan bahwa di dalam Negara Kesatuan (Undang-Undang Dasar Sementara) tiadak dikenal adanya.
Baru nanti di dalam bulan September 1955 dapat diadakan pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56. Demikian juga kemudian pada bulan Desember 1955 dapat diadakan pemilhan umum untuk anggota Konstituante. Kedua-duanya dipilih berdasar kepada Undang-Undang No. 7 tahun 1953, yaitu “ Undang-Undang tentang pemilihan umum untuk anggota konstituante dan Dewan Perwakilan Rakyat” (LN tahun 1953 No. 29).
Dalam uraian di atas sudah dijelaskan bahwa dalam sistem Pertanggungjawaban Mentri intinya bahwa cabinet harus selalu memperoleh dukungan Badan Perwakilan, artinya suara mayoritas di dalam Baban Perwakilan harus mendukung kepada kebijaksanaan Dewan Mentri (Pemerintah).
Dalam kenyataannya kita semua mengetahui bahwa pada waktu itu di Indonesia terdapat banyak sekali partai-partaipolitik dengan garis-garis politik yang berbeda satu dengan lainnya. Pada tahun 1951 saja terdaftar didalam buku “Kepartaian di Indonesia” terdaftar tidak kurang dari 27 partai politik baik itu ppartai besar atau partai kecil. Bahkan setelah pemilihan umum diadakan dalam Badan Konstituante terdapat 35 fraksi.
Dengan banyaknya partai-partai politik tersebut di atas tentu saja sangat besar pengaruhnya dalam sistem Kabinet Parlementer ini. Untuk memperoleh dukungan Badan Perwakilan yang merupakan percerminan daripada partai-partai tersebut di atas, harus selalu di usahakan untuk mengumpulkan kerja sama daripada partai-partai yang bersedia bekerja sama mendukung kabinet sehingga diperoleh suara yang mayoritas di dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Akibat kerja sama dari banyak partai-partai ini, maka sifat kerja samanya tidak kekal sehingga sukar diperoleh adanya dukungan yang sifatnya stabil. Akibatnya maka di dalam masa Kabinet Parlementer ini penggantian Kabinet bukanlah merupakan satu hal yang jarang terjadi. Harapannya dengan diadakannya pemilihan umum dapatlah dicapai suatu stabilisasi di dalam bidang politik. Tetapi harapan ini ternyata harapan belaka. Seperti diatas telah diuraikan dengan diadakannya pemilihan umum jumlah partai tidak semakin berkurang, tetapi malahan menjadi bertambah banyak. Hasil pemilihan umum ternyata tidak mengurangi jumlah-jumlah tersebut. Akibatnya baik darimasa sebelum maupun sesudah pemilihan umum tradisi pergantian Kabinet tidak pula menjadi semakin berkurang. Dari Kabinet Natsir (tahun 1950) sampai dengan tahun 1959 tealah terjadi pergantian setidak-tidaknya 7 kabinet. Hal yang demikian ini tentu saja bukan suatu hal yang baik, sebab satu program Kabinet  biasanya belum lagi dapat tercapai sudah harus mengalami kejatuhannya, sehingga pembangunan Nasional, akan sangat terganggu. Satu-satunya cara untuk mengatasi soal itu perlu adanya stabilisasi politik.
Sejalan dengan itu, pada waktu itu telah pula terbentuk Badan Konstituante yang dilantik pada tanggal 10 November 1956. Badan Konstituante ini, seperti yang dimuka dijelaskan, maksudnya ialah untuk bersama-sama Pemerintah menetapakan Undang-Undang Dasar yang tetap yang sedianya untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara.
Pada dasarnya dengan terbentuknya Badan Konstituante dapat diharap segera dihasilkan sebuah Undang-Undang Dasar yang dapat memberikan suatu sistem yang bisa membawakan stabilisasi politik. Tetapi harapan inipun tidak demikian kenyataanya.
Setelah Badan Konstituante ini bersidang kira-kira dua setengah tahun lamnya ternyata belum pula dapat menghasilkan sebuah Undang-Undang Dasar. Perbedaan pendapat did lam Konstituante sangat jauh. Sementara itu pertentangan pendapat diantara partai-partai politik tidak hanya di dalam badan Konstituante dan didalam Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan-badan  Perwakilan lain-lainnya, tetapi juga didalam badan-badan Pemerintahan. Bahkan lebih lagi pertentangan-pertentangan ini meluas di dalam badan-badan swasta dan malahan dikalangan masyarakat luas.
Untuk mengatasi keadaan ini maka kemudian kesalahan dicari dalam sistem ketatanegaraan. Timbullah ide untuk melaksanakan “Demokrasi Terpimpin”, suatu Demokrasi yang dianggap sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang dibedakan dengan Demokrasi-Liberal yang selama ini dilaksanakan oleh bangsa Indonesia dengan Undang-Undang Dasar Sementara sebagai sumbernya.
Untu melaksanakan Demokrasi Terpimpin ini tidak mungkin lagi dipertahankan Undang-Undang Dasar Sementara sebab sistemnya adalah mempergunakan asas Demeokrasi-Liberal (Demokrasi Barat). Undang-Undang Dasar iniharus segera diganti.
Dimuka telah dijelaskan bahwa yang berwenang menetapkan Undang-Undang Dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara, ialah Pemerintah bersama dengan Konstituante tetapi ternyata dua setengah tahun Konstituante ini bekerja belum dapat menghasilkan sebuah rencana Undang-Undang Dasar, oleh karena itu Pemerintah (pada waktu itu Kabinet Karya) di dalam sidangnya pada tanggal 10 Pebruari 1959 mengambil suatu keputusan untuk melaksanakan Idea Demokrasi Terpimpin yaitu dengan cara kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 dianggap cukup mampu untuk dijadikan dasar bekerja melaksanakan demokrasi terpimpin.
Keputusan Dewan Mentri tanggal 19 Pebruari  1959 ini bernama: “Putusan Dewan Mentri Mengenai pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke Undang-Undang Dasar 1945.”




BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Dalam uraian diatas, dapat diketahui bahwa dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia merdeka, telah tercatat beberapa upaya (a) Pembentukan Undang-Undang Dasar, (b) penggantian Undang-Undang Dasar, dan (c) perubahan dalam arti pembaruan Undang-Undang Dasar. Pada tahun 1945, Undang-Undang Dasar 1945 dibentuk atau disusun oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Pesiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai dasar hukum bagi Negara kesatuan Republik Indonesia yang kemerdekaannya diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada tahun 1949, ketika bentuk Negara Republik Indonesia diubah menjadi Negara Serikat (Federasi), diadakan penggantian konstitusi dari Undang-Undang dasar 1945 ke Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949. Demikian pula pada tahun 1950, ketika bentuk Negara Indonesia diubah lagi dari bentuk Negara Serikat menjadi Negara Kesatuan, Konstitusi RIS 1949 diganti dangan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.
Setelah itu, mulailah diadakan usaha untuk menyusun Undang-Undang Dasar baru sama sekali dengan dibentuknya lembaga Konstituante yang secara khusus ditugaskan untuk menyusun konstitusi baru. Setelah Konstituante terbentuk, diadakanlah persidangan-persidangan yang sangat melelahkan mulai tahun 1956 sampai tahun 1959, dengan maksud menyusun Undang-Undang Dasar yang bersifat tetap. Akan tetapi, sejarah mmencatat bahwa usaha ini gagal diselesaikan sehingga pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan keputusan yang dikenal dengan sebutan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang isinya antara lain membubarakan Konstituante dan Menetapkan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 menjadi huukum dasar dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perubahan dari Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 Ke Undang-Undang Dasar 1945 ini tidak ubahnya bagaikan tindakan penggantian Undang-Undang Dasar juga. Oleh karena itu, sampai dengan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 itu, dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia belum pernah terjadi perubahan dalam arti perubahan Undang-Undang Dasar, melaikan baru perubahan dalam arti pembentukan, penyusunan, dan penggantian Undang-Undang Dasar. Perubahan dalam arti pembaruan Undang-Undang Dasar, baru terjadi setelah bangsa Indonesia memasuki era reformasi pada tahun 1998, yaitu setelah Presiden Soeharto berhenti dan digantikan oleh Presiden B.J Habibie, barulah pada tahun 1999 dapat diadakan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana mestinya.
B.       Saran
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun  1945 sebagai Ideologi negara adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan Negara Indonesia. Oleh karena itu, hendaknya dalam pelaksanaan ketata negaraan Indonesia Undang-Undang Dasar 1945 dilaksanakan secara murni dan konsekuen sehingga apa yang menjadi tujuan dan cita-cita negera Indonesia yang terkandung di dalam pembuakaan UUD 1945 itu dapat tercapai.
Kemudian juga, jangan sampai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun  1945 sebagai Ideologi Negara, hanya menjadi produk politik yang hanya menguntungkan dan mementingkan kelompok-kelompok tertentu saja, tetapi hendaknya diterapkan secara muni dan konsekuen yang melindungai segenap bangsa Indonesia.
Sumber
Asshiddiqie, Jimly. 2011. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika. Cetakan kedua.
Huda, Ni’matul. 2007. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada.
Joeniarto. 2001. Sejarah Ketatanegaraan Rrpublik Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara. Cetakan kelima.